09 Agustus 2009

Kesombonganku berawal dari kerendahanku.

Sejak lama, aku merasa bahwa segala kelebihan yang aku miliki bukanlah sesuatu yang bisa membuatku sombong. Aku berkkata pada diriku sendiri bahwa aku tidak boleh menjadi sombong karenanya. Juga karena masih banyak manusia yang kelebihannya lebih baik dariku. AKu pun memulainya dengan berkata "Ah, bukan apa-apa" atau "Biasa saja" ketika orang memujiku.

Makin lama, karena berpandangan bahwa masih banyak mereka melebihiku, aku mulai berpikir bahwa diriku ini memang bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa yang patut disebut hebat. Dan kupikir aku telah menghilangkan rasa sombong itu sampai kapanpun.

Namun, sifat manusia ini ternyata mencari jalan lain. KArena menganggap diri ini bukan siapa-siapa, aku pun mulai mengasihani orang2 yang tidak dapat melebihiku. Dari segi apapun. Hal ini tercermin ketika mendengar berita mengenai suka-duka pengumuman kelulusan sekolah. Ada yang senang gembira karena lulus dan ada pula yang menangis sedih karena harus mengulang 1 tahun. ADa pula yang protes karena hanya satu mapelnya membuat dirinya batal lulus dan batal diterima di salah perguruan tinggi negeri ternama di negara ini, padahal dua nilainya, yaitu Bhs Indonesia dan Bhs Inggris 9 walaupun Matematika "hanya" 3. Mendengar ada kasus2 yang tidak lulus itu, komentarku dalam hati "paling juga kurang rajin belajar" atau " ah ga mungkin, masa yang dua bisa dapat 9 sedangkan salah satu bisa dapat 3", atau "makanya jgn malas-malas belajar". Bahkan kadang, yang lebih parah, untuk mereka yang merayakan kelulusannya, " Baru juga lulus, dah perayaan besar2an. Lulus bukanlah sesuatu yang pantas untuk dirayakan sedemikian besar".

Songong yak?

AKu kemudian kembali teringat akan masa2 sekolahku dulu. Saat-saat dimana aku beranggapan lulus adalah sesuatu yang wajar dan tak lulus adalah sesuatu yang memalukan. Bukan lulus yang aku cari disetiap ujian akhir, melainkan bagaimana menjadi siswa yang memperoleh nilai yang terbaik. Yang dielu2kan saat upacara. Yang ditemukan namanya di 3 besar kelas. Angka 8 menghiasi rapor. Begitu terus sampai SMU. Yang paling parah, ketika aku tidak mengikhlaskan nilai Matematikaku yang hanya mendapat nilai 7 sekian di ujian akhir. Nilai itu jauh dari targetku yaitu 9sekian. Wajar aku marah pada saat itu, karena aku telah mengusahakan dengan sedemikian rupa(namun secara jujur) agar aku bisa memperoleh nilai 9 namun pupus karena aturan NILAI KONVERSI(utk artikel ini, mungkin bisa di-google..). Sampai hampir 5 tahun aku tidak mengikhlaskannya.

PAragraf tsb bukan sebagai pembelaan diri..

Ketika kuliah, aku masih selalu bersikap merendah. TErnyata, ada salah satu temen kuliah yang dalam waktu 1 tahun mengemukakan bahwa aku itu sombong(TErimakasih buat mbah Teguh M, yng menyadarkan). Komentarnya benar2 satu diantara komentar teman2 yang lain. Sampai sekarang, aku pun masih penasaran bagaimana dia bisa menemukannya.

AKhir2 ini, aku belajar dua hal : respon baru menghadapi pujian, dan bahwa aku harus bersyukur. Selama mengikuti seminar dan lokakarya riset di Labmath Indonesia, aku bertemu dengan dua ilmuwan belanda. Dengan kemampuanku, aku tidak menemui kesulitan dalam berkomunikasi dengan mereka. Salah satu dari ilmuwan tersebut, Pak Deepak Vatvani bahkan sampai 2 kali memujiku dalam satu kesempatan, yang petikannya kira2 seperti ini :
Saya (S) : Have you eaten sir?(padahal maksudnya beramah tamah dengan menanyakan sudah makan siang apa belum..)
Pak Deepak (D) : Oh yes, I have. You speak very well there.
S : Ah sir, not much.(berusaha merendah)
D : well yes, you do.
S : Thank you sir..(nyerah utk terus merendah).
Disini, aku merasa bahwa mengucapkan terimakasih memang lebih baik daripada sekadar merendah. Selain baik bagi wibawa pribadi, kita tidak underestimate diri sendiri. TErimakasih Pak D. I'm grateful to see you. Juga sama mas wink, yang mengutarakan kekagumannya atasku. Terimakasih atas pujiannya wink, pasti kamu juga bisa.

Dalam bersyukur, aku membacanya di buletin dakwah saban jumat "Wa Islama" yang berjudul " Apapun Keadaannya, Bersyukurlah!). Saya tidak akan membahas isinya, namun pelaksanaan dari saya. Saya merasa bahwa saya harus bersyukur atas segala prestasi yang telah saya raih dan segala kelebihan yang saya punya serta tidak memandang rendah kekurangan/kegagalan orang. ALhamdulillah ya Allah...Segala puji untukmu. yang telah mengingatkanku. Yang telah memberiku banyak anugerah.. Aku masih ingin anugerahmu...

(Note : Sebenarnya ini dah lama dibuat, namun baru bisa dimuat sekarang)

2 komentar:

  1. Karena manusia tidak pernah puas mungkin? Dan mungkin kalau manusia selalu puas tidak akan pernah ada surga yang bertingkat-tingkat?

    Ah, ngelantur lagi. Yang jelas mengakui kelemahan diri kita juga salah satu cara agar kita terhindar dari sikap sombong.

    BalasHapus
  2. awasi diri sendiri dari sombong.

    karena tidak semua orang mempunyai definisi sombong yg benar2 sama..

    BalasHapus