Pagi ini aku melihat seorang penjaja koran tua yang datang ke warung Coto Makassar di Kotabaru, Yogya ketika aku dan adikku akan memesan makanan. Sekilas, aku seperti memperhatikan koran2 yang ia jajakan sehingga ia mengira aku tertarik untuk membeli. cepat2 aku lepas hindarkan pandanganku..Ia pun pergi.
Kedatangannya mengingatkanku pada artikel si majalah Eve yang kubaca di PhotoTalk JaKal. Artikel itu berisi mengenai motivasi diri agar tidak gampang menyerah. Ceritanya begini, ada seorang tenaga penjualan asuransi yang frustasi ketika usahanya mendekati sebuah perusahaan agar ia mendapat closing asuransi terus gagal karena dalam sebulan ini ia tidak dalam menemui petinggi perusahaan tersebut. Ia sangat putus asa. Lalu, ketika ia termenung, ia didatangi oleh seorang bocah penjaja koran yang menawarkan koran sore padanya. Ia tidak menanggapi bocah itu (bahasa lainnya nyuekin namun perlahan ia mulai sedikit kesal dengan usaha bocah tersebut. Akhirnya ia melambaikan tangannya menolak tawaran si bocah. Si bocah pun mulai berkeliling menawarkan korannya ke orang lain. Setelah itu, si karyawan ini pun merenung, "bukankah hal yang sama terjadi pula padaku?". Ia pun mengejar bocah penjaja koran itu dan menawarkan untuk makan bersama.
Selagi makan, si karyawan bertanya pada si bocah apakah semua orang cuek padanya dan mengapa ia tetap mencoba menjajakan korannya walaupun dicuek-in. Si bocah hanya menjawab dengan polosnya bahwa tak mengapa ia diperlakukan demikian karena ia sendiri tidak bisa memaksa orang untuk membeli koran yang dijajakannya dan ia akan terus menjajakannya karena kalau tidak begitu, tak ada orang yang akan membelinya. Hal ini menyentak sang karyawan yang tengah frustasi tersebut. Ia tersadar bahwa ia harus gigih, berdedikasi dan tabah dalam berjuang maupun berkarir.. Dan ia pun kembali semangat menghadapi tantangan.
Dalam artikel itu pula dijelaskan ada 3 tipe orang dalam kesuksesan karir : sukses, biasa2 dan gagal. Tipe pertama akan terus memperbaiki diri dan meningkatkan tantangan. Tipe kedua adalah orang yang mempunyai titik kepuasan tertentu dan setelah mencapainya, ia tidak akan memperbaiki dirinya lebih lanjut. Tipe kedua adalah orang yang merasa bahwa tantangan yang ada pada dirinya selalu lebih besar dari yang bisa ia kerjakan, dan bahwa yang salah adalah lingkungannya, bukan dirinya..Hal ini mungkin mirip dengan apa yang dikatakan Adrie Wongso : " Orang Sukses selalu kelebihan cara menjadi sukses, sedangkan Orang Gagal selalu menemukan kelebihan Alasan ia tidak sukses."
Semoga artikel ini berguna bagi penulis maupun pembaca. Komentarnya ditunggu ya..
Blog ini adalah cuplikan kisah sehari2 yang sempat tertulis. Demikian pula dengan beberapa pemikiran ataupun "ilham" yang menyambangi...
09 Agustus 2009
Kesombonganku berawal dari kerendahanku.
Sejak lama, aku merasa bahwa segala kelebihan yang aku miliki bukanlah sesuatu yang bisa membuatku sombong. Aku berkkata pada diriku sendiri bahwa aku tidak boleh menjadi sombong karenanya. Juga karena masih banyak manusia yang kelebihannya lebih baik dariku. AKu pun memulainya dengan berkata "Ah, bukan apa-apa" atau "Biasa saja" ketika orang memujiku.
Makin lama, karena berpandangan bahwa masih banyak mereka melebihiku, aku mulai berpikir bahwa diriku ini memang bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa yang patut disebut hebat. Dan kupikir aku telah menghilangkan rasa sombong itu sampai kapanpun.
Namun, sifat manusia ini ternyata mencari jalan lain. KArena menganggap diri ini bukan siapa-siapa, aku pun mulai mengasihani orang2 yang tidak dapat melebihiku. Dari segi apapun. Hal ini tercermin ketika mendengar berita mengenai suka-duka pengumuman kelulusan sekolah. Ada yang senang gembira karena lulus dan ada pula yang menangis sedih karena harus mengulang 1 tahun. ADa pula yang protes karena hanya satu mapelnya membuat dirinya batal lulus dan batal diterima di salah perguruan tinggi negeri ternama di negara ini, padahal dua nilainya, yaitu Bhs Indonesia dan Bhs Inggris 9 walaupun Matematika "hanya" 3. Mendengar ada kasus2 yang tidak lulus itu, komentarku dalam hati "paling juga kurang rajin belajar" atau " ah ga mungkin, masa yang dua bisa dapat 9 sedangkan salah satu bisa dapat 3", atau "makanya jgn malas-malas belajar". Bahkan kadang, yang lebih parah, untuk mereka yang merayakan kelulusannya, " Baru juga lulus, dah perayaan besar2an. Lulus bukanlah sesuatu yang pantas untuk dirayakan sedemikian besar".
Songong yak?
AKu kemudian kembali teringat akan masa2 sekolahku dulu. Saat-saat dimana aku beranggapan lulus adalah sesuatu yang wajar dan tak lulus adalah sesuatu yang memalukan. Bukan lulus yang aku cari disetiap ujian akhir, melainkan bagaimana menjadi siswa yang memperoleh nilai yang terbaik. Yang dielu2kan saat upacara. Yang ditemukan namanya di 3 besar kelas. Angka 8 menghiasi rapor. Begitu terus sampai SMU. Yang paling parah, ketika aku tidak mengikhlaskan nilai Matematikaku yang hanya mendapat nilai 7 sekian di ujian akhir. Nilai itu jauh dari targetku yaitu 9sekian. Wajar aku marah pada saat itu, karena aku telah mengusahakan dengan sedemikian rupa(namun secara jujur) agar aku bisa memperoleh nilai 9 namun pupus karena aturan NILAI KONVERSI(utk artikel ini, mungkin bisa di-google..). Sampai hampir 5 tahun aku tidak mengikhlaskannya.
PAragraf tsb bukan sebagai pembelaan diri..
Ketika kuliah, aku masih selalu bersikap merendah. TErnyata, ada salah satu temen kuliah yang dalam waktu 1 tahun mengemukakan bahwa aku itu sombong(TErimakasih buat mbah Teguh M, yng menyadarkan). Komentarnya benar2 satu diantara komentar teman2 yang lain. Sampai sekarang, aku pun masih penasaran bagaimana dia bisa menemukannya.
AKhir2 ini, aku belajar dua hal : respon baru menghadapi pujian, dan bahwa aku harus bersyukur. Selama mengikuti seminar dan lokakarya riset di Labmath Indonesia, aku bertemu dengan dua ilmuwan belanda. Dengan kemampuanku, aku tidak menemui kesulitan dalam berkomunikasi dengan mereka. Salah satu dari ilmuwan tersebut, Pak Deepak Vatvani bahkan sampai 2 kali memujiku dalam satu kesempatan, yang petikannya kira2 seperti ini :
Saya (S) : Have you eaten sir?(padahal maksudnya beramah tamah dengan menanyakan sudah makan siang apa belum..)
Pak Deepak (D) : Oh yes, I have. You speak very well there.
S : Ah sir, not much.(berusaha merendah)
D : well yes, you do.
S : Thank you sir..(nyerah utk terus merendah).
Disini, aku merasa bahwa mengucapkan terimakasih memang lebih baik daripada sekadar merendah. Selain baik bagi wibawa pribadi, kita tidak underestimate diri sendiri. TErimakasih Pak D. I'm grateful to see you. Juga sama mas wink, yang mengutarakan kekagumannya atasku. Terimakasih atas pujiannya wink, pasti kamu juga bisa.
Dalam bersyukur, aku membacanya di buletin dakwah saban jumat "Wa Islama" yang berjudul " Apapun Keadaannya, Bersyukurlah!). Saya tidak akan membahas isinya, namun pelaksanaan dari saya. Saya merasa bahwa saya harus bersyukur atas segala prestasi yang telah saya raih dan segala kelebihan yang saya punya serta tidak memandang rendah kekurangan/kegagalan orang. ALhamdulillah ya Allah...Segala puji untukmu. yang telah mengingatkanku. Yang telah memberiku banyak anugerah.. Aku masih ingin anugerahmu...
(Note : Sebenarnya ini dah lama dibuat, namun baru bisa dimuat sekarang)
Makin lama, karena berpandangan bahwa masih banyak mereka melebihiku, aku mulai berpikir bahwa diriku ini memang bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa yang patut disebut hebat. Dan kupikir aku telah menghilangkan rasa sombong itu sampai kapanpun.
Namun, sifat manusia ini ternyata mencari jalan lain. KArena menganggap diri ini bukan siapa-siapa, aku pun mulai mengasihani orang2 yang tidak dapat melebihiku. Dari segi apapun. Hal ini tercermin ketika mendengar berita mengenai suka-duka pengumuman kelulusan sekolah. Ada yang senang gembira karena lulus dan ada pula yang menangis sedih karena harus mengulang 1 tahun. ADa pula yang protes karena hanya satu mapelnya membuat dirinya batal lulus dan batal diterima di salah perguruan tinggi negeri ternama di negara ini, padahal dua nilainya, yaitu Bhs Indonesia dan Bhs Inggris 9 walaupun Matematika "hanya" 3. Mendengar ada kasus2 yang tidak lulus itu, komentarku dalam hati "paling juga kurang rajin belajar" atau " ah ga mungkin, masa yang dua bisa dapat 9 sedangkan salah satu bisa dapat 3", atau "makanya jgn malas-malas belajar". Bahkan kadang, yang lebih parah, untuk mereka yang merayakan kelulusannya, " Baru juga lulus, dah perayaan besar2an. Lulus bukanlah sesuatu yang pantas untuk dirayakan sedemikian besar".
Songong yak?
AKu kemudian kembali teringat akan masa2 sekolahku dulu. Saat-saat dimana aku beranggapan lulus adalah sesuatu yang wajar dan tak lulus adalah sesuatu yang memalukan. Bukan lulus yang aku cari disetiap ujian akhir, melainkan bagaimana menjadi siswa yang memperoleh nilai yang terbaik. Yang dielu2kan saat upacara. Yang ditemukan namanya di 3 besar kelas. Angka 8 menghiasi rapor. Begitu terus sampai SMU. Yang paling parah, ketika aku tidak mengikhlaskan nilai Matematikaku yang hanya mendapat nilai 7 sekian di ujian akhir. Nilai itu jauh dari targetku yaitu 9sekian. Wajar aku marah pada saat itu, karena aku telah mengusahakan dengan sedemikian rupa(namun secara jujur) agar aku bisa memperoleh nilai 9 namun pupus karena aturan NILAI KONVERSI(utk artikel ini, mungkin bisa di-google..). Sampai hampir 5 tahun aku tidak mengikhlaskannya.
PAragraf tsb bukan sebagai pembelaan diri..
Ketika kuliah, aku masih selalu bersikap merendah. TErnyata, ada salah satu temen kuliah yang dalam waktu 1 tahun mengemukakan bahwa aku itu sombong(TErimakasih buat mbah Teguh M, yng menyadarkan). Komentarnya benar2 satu diantara komentar teman2 yang lain. Sampai sekarang, aku pun masih penasaran bagaimana dia bisa menemukannya.
AKhir2 ini, aku belajar dua hal : respon baru menghadapi pujian, dan bahwa aku harus bersyukur. Selama mengikuti seminar dan lokakarya riset di Labmath Indonesia, aku bertemu dengan dua ilmuwan belanda. Dengan kemampuanku, aku tidak menemui kesulitan dalam berkomunikasi dengan mereka. Salah satu dari ilmuwan tersebut, Pak Deepak Vatvani bahkan sampai 2 kali memujiku dalam satu kesempatan, yang petikannya kira2 seperti ini :
Saya (S) : Have you eaten sir?(padahal maksudnya beramah tamah dengan menanyakan sudah makan siang apa belum..)
Pak Deepak (D) : Oh yes, I have. You speak very well there.
S : Ah sir, not much.(berusaha merendah)
D : well yes, you do.
S : Thank you sir..(nyerah utk terus merendah).
Disini, aku merasa bahwa mengucapkan terimakasih memang lebih baik daripada sekadar merendah. Selain baik bagi wibawa pribadi, kita tidak underestimate diri sendiri. TErimakasih Pak D. I'm grateful to see you. Juga sama mas wink, yang mengutarakan kekagumannya atasku. Terimakasih atas pujiannya wink, pasti kamu juga bisa.
Dalam bersyukur, aku membacanya di buletin dakwah saban jumat "Wa Islama" yang berjudul " Apapun Keadaannya, Bersyukurlah!). Saya tidak akan membahas isinya, namun pelaksanaan dari saya. Saya merasa bahwa saya harus bersyukur atas segala prestasi yang telah saya raih dan segala kelebihan yang saya punya serta tidak memandang rendah kekurangan/kegagalan orang. ALhamdulillah ya Allah...Segala puji untukmu. yang telah mengingatkanku. Yang telah memberiku banyak anugerah.. Aku masih ingin anugerahmu...
(Note : Sebenarnya ini dah lama dibuat, namun baru bisa dimuat sekarang)
Langganan:
Postingan (Atom)