09 Desember 2009

Resensi "When Tomorrow Comes(Gerhana Terakhir)"

Cerita "When Tomorrow Comes" ditulis oleh Peter O'Connor, penulis berkebangsaan Australia dan kemudian dialihbahasakan Lulu Wijaya. Cerita ini merupakan bagian dari buku terbitan Gramedia yang juga memuat cerita Peter O'Connor lainnya yang berjudul "Seeking Daylight's End(Mengejar Matahari)".

cerita ini berawal dari keinginan seorang kakek bernama Joseph untuk pergi melihat gerhana matahari sebagai petualang terakhir yang ingin ia lakukan untuk terakhir kalinya sebelum ia meninggal dunia karena penyakit kanker yang menggerogotinya. Hal ini dilakukan sebagai keinginan terakhirnya karena pada 4 kesempatan sebelumnya ia selalu gagal untuk melihat gerhana matahari. Lokasi yang diinginkan adalah Ceduna, sangat jauh dari Queensland dimana ia dirawat. Hal ini tentu saja mendapatkan tentangan dari keluarganya. Namun begitu, jiwa petualang Joseph yang tidak menerima hidupnya berakhir di rumah sakit menunggu kematian menjemput tidak menyurutkan keinginan Joseph untuk bertualang melihat gerhana matahari Ceduna. Ia pun mengajak cucunya Sarah untuk ikut serta , walau tanpa Sarah pun Joseph tetap pergi. Joseph juga memberikan buku hariannya yang ditulis di usia senjanya kepada SArah, padahal buku itu tak pernah ia ijinkan untuk dibaca orang lain selain istrinya. Setelah mengalami konflik batin yang cukup lama, akhirnya Sarah memutuskan menemani kakeknya bertualang menuju Ceduna.

Sarah yang belum pernah melakukan petualangan sebelumnya banyak melakukan hal-hal baru seperti mengendarai mobil dobel gardan yang disewa kakeknya, padahal ia terbiasa mengendarai mobil transmisi otomatis untuk berangkat kerja. Selama perjalanan, mereka menyempatkan diri untuk singgah dibeberapa tempat yang belum pernah SArah kunjungi. SArah pun merasa senang karena ia menemukan jiwanya yang hilang, bisa mendengarkan kisah-kisah kakek rentanya, mengambil gambar-gambar menakjubkan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Walaupun kakeknya terus menutupi keadaan bahwa penyakitnya makin cepat menggerogotinya. Membuatnya semakin cepat mendekati kematian.

Beberapa hari sebelum peristiwa gerhana terjadi, tiba-tiba kakeknya tidak sadarkan diri dan terpaksa kembali dirawat di kota Port Augusta yang dekat dengan Ceduna. Sarah pun kembali mengalami konflik batin, antara menjaga kakek tersayangnya atau meneruskan perjalanan. Tentu saja, Joseph meminta Sarah untuk meneruskan perjalanan dan memotret gerhana sebagai hadiah terakhir untuknya. Akhirnya, dengan berat hati, Sarah pun segera pergi ke Ceduna, tujuan utama perjalanannya. Disana, ia menyadari kenapa kakeknya begitu ngotot ingin pergi. Ia melihat keindahan dan keajaiban alam disana. Sesuatu yang ia senangi dari lubuk hatinya. Kalau saja ia terlalu lama terpukau gerhana, mungkin ia lupa mengambil gambar gerhana untuk kakeknya. Di rumah sakit, kakeknya pun melihat gerhana melalui teleskop kertas. Senyum manis mengantarkannya meninggalkan dunia.

Joseph adalah seseorang yang mempunyai prinsip "Yang penting adalah hidup macam mana yang kita jalani, bukan berapa lama kita hidup" dan " Uang memang penting, tapi hidupmu lebih penting". Hal ini didasari pada pengalamannya sebagai prajurit di medan perang. Disana, ia menyadari betapa pentingnya hidup dan betapa singkatnya hidup ini untuk disia-siakan. Ia juga merupakan orang yang memegang kendali atas hidupnya sendiri. Hal yang jarang ia lihat pada kebanyakan orang karena kebanyakan orang yang masa depannya ditentukan oleh orang lain. Oleh karenanya, ia meninggalkan rumah pada usia muda, ikut berperang, berpetualang, berkelana, mencoba-coba hal baru. Si kakek ini juga tidak setuju dengan pendapat bahwa orang yang sudah dekat kematian harus hidup selama mungkin demi keluarganya walaupun harus terus menerus dirawat di rumah sakit, tanpa bisa melakukan aktivitas apa-apa. Baginya, orang seperti itu sudah lama mati walau dibantu dengan alat medis, karena ia sudah tidak bisa melakukan apapun.

Cerita ini memberikan inspirasi pada kita untuk melakukan apa yang kita inginkan tanpa harus selalu mematuhi orang lain apalagi sampai menentukan masa depan kita. Kita diingatkan untuk menikmati hidup dengan cara yang kita inginkan, karena hidup itu hanya sementara. Meraih cita-cita dan impian adalah suatu keharusan agar kita merasa 'hidup'. Hidup bukanlah sesuatu yang mengekang kita dalam rutinitas sehingga tanpa sadar kita sudah melewati hampir seluruh masa hidup kita tanpa pernah meraih kehidupan itu sendiri dan menyesal kemudian hari.

Namun, terkadang di mata orang lain, hal ini dianggap egois karena hanya menginginkannya demi kepuasan diri sendiri. dianggap Liar, karena pergi berpetualang sehingga meninggalkan keluarga sedemikian lama hanya untuk kesenangan pribadi. Tak bermasa depan, karena hal-hal yang ingin dicapai tidak menghasilkan penghasilan yang sepadan demi keluarga. Dan melakukan banyak hal yang dipandang sia-sia oleh orang lain walau yang demikian itu bermakna sekali bagi kita. Kita mungkin ingin membuka toko bunga kecil-kecilan walau bisa melamar di perusahaan akuntan publik terkemuka. Mungkin saja ingin bepergian berkeliling Indonesia sampai ke perbatasan untuk mengambil gambar keadaan saudara kita disana. Atau sekedar mendendangkan syair-syair merdu untuk menghibur orang. Dan masih banyak hal lain. Yang sepele namun bermakna dalam bagi kita. Apalagi terkadang kesuksesan seseorang dinilai oleh uang. Sukses adalah kebebasan finansial. Sukses adalah kemampuan untuk menjadi seseorang yang disegani. Sukses berarti mampu membeli banyak mobil, rumah dan perlengkapan elektronik. Sukses itu bisa menikahi wanita cantik. Sukses membawa kebahagiaan (apa iya?)

Kita memang sadar bahwa uang memang penting dalam hidup, tapi apakah sebegitu pentingnya sampai kita rela melepas hidup? Bagaimana dengan anda?

2 komentar: